Perkuat Oposisi, NasDem Bagusnya Keluar dari Kabinet Jokowi

JAKARTA, SUARAMEDIA.id – Partai Nasional Demokrat (NasDem) sebaiknya tidak lagi berada di kabinet pemerintahan Presiden Jokowi. Jika menteri-menteri dari Nasdem di-reshuffle dari kabinet, justru sebuah kemajuan bagi demokrasi di Indonesia.

“Keberadaan NasDem akan menambah kekuatan oposisi menjadi sekitar 25 persen, sekaligus sebagai pengimbang kekuatan politik,” kata Selamat Ginting selaku analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) di Jakarta, Sabtu (7/1/2023).

Selamat Ginting menanggapi rumor akan terjadinya reshuffle kabinet pada Januari 2023 ini. Hal itu setelah beberapa bulan lalu, Partai NasDem mendeklarasikan mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dalam radar bakal calon presiden 2024 mendatang. Anies dianggap mewakili kubu oposisi.

Menurutnya, jika pemerintahan berjalan tanpa oposisi, dan tanpa kontrol sosial yang efektif dari media massa, artinya pemerintahan dicurigai dekat dengan oligarki dan menuju pemerintahan otoriter.

“Keberadaan oposisi justru keniscayaan bagi demokrasi. Oposisi itu bukan barang haram, justru halal bagi kemajuan demokrasi di Indonesia,” kata Ketua bidang Politik, Pusat Studi Literasi Komunikasi Politik Unas ini.

Dalam pemerintahan Presiden Jokowi, kata Ginting, hanya menyisakan dua partai politik yang berhasil menduduki kursi di parlemen, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat. Jumlah perolehan suara gabungan kedua partai oposisi itu pada Pemilu 2019 lalu, hanya berkisar 17,5 persen. Kini dengan posisi Partai NasDem sebagai oposisi kekuatan pengimbang pemerintah menjadi sekitar 25 persen.

Dikemukakan, dalam konteks politik, maka kekuatan politik partai oposisi menyebabkan pemerintahan bisa berjalan lebih demokratis dan efektif. Hal ini karena pemerintah akan dipaksa menjalankan kebijakan politik yang jauh lebih demokratis.

“Salah satu kuncinya adalah komunikasi politik untuk membuka ruang dialog dan menghindari kecurigaan masyarakat terhadap jalannya pemerintahan,” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas ini.

Baca Juga..!  Puncak Perayaan HPN 2021, PWI Pusat Anugerahi PCNO Kepada 9 Wartawan dan Pena Mas kepada Gubernur Kalsel

Ginting mengharapkan jelang pelaksanaan Pemilu 2024, keberadaan oposisi jangan dilakukan dengan kebijakan asal beda dengan pemerintah. Jika itu yang dilakukan, namanya oposisi ‘sontoloyo’.

Sebab, kata Ginting, oposisi bukanlah sekadar sikap anti-pemerintah. Oposisi justru harus dimaknai sebagai eksistensi politik yang memberikan alternatif pilihan bagi kebijakan pemerintahan.

“Kalau ide, usulan, dan jalan keluar dari oposisi justru lebih bagus daripada yang dibuat pemerintah, maka jangan malu, ikuti saja saran dari kekuatan oposisi. Saran dari oposisi bukan barang haram dalam politik,” kata kandidat doktor ilmu politik ini.

Di era reformasi, menurut Selamat Ginting, merupakan kesempatan untuk memperbaiki iklim demokrasi dari kegagalan membangun demokrasi di era Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto yang mengharamkan kelompok atau partai oposisi.

“Di era Presiden Sukarno, oposisi dicap sebagai kontra revolusi dan antek-antek neokolonialisme. Di era Soeharto, oposisi dimaknai sebagai anti-Pancasila dan kelompok ekstrem. Inilah kekeliruan yang harus kita perbaiki di era reformasi,” pungkas Ginting.

(Red)

Editor : Alle Gege Kosasih

Facebook Comments