Penutupan Sementara PT. Tanjung Odi tak Prosedural?

SUMENEP | JATIM, suaramedia.id – Dikala New Normal bergaung di Seantero Negeri, publik dikejutkan dengan berita Penutupan Sementara PT. Tanjung Odi, sebuah perusahaan rokok di Sumenep. Bupati Sumenep, melalui Surat tanggal 22 Juni 2020 menginstruksikan Penutupan Sementara aktivitas PT. Tanjung Odi setelah 9 pekerjanya dinyatakan positif corona.

Pandemi ini telah memukul sektor industri. Banyak pengusaha mengaku merugi. Tak heran, di beberapa daerah banyak pekerja di-PHK sejak wabah corona merajalela.
Sama halnya dengan PT. Tanjung Odi, yang bernasib serupa. Sebuah kenyataan pahit. Perusahaan yang mempekerjakan hampir 2000-an pekerja ini, telah menghentikan aktivitas produksinya gegara corona.

Hanya saja, penutupan PT. Tanjung Odi ini menimbulkan banyak tanya. Kebijakan penutupan disinyalir tak berlandasan norma hukum yang pasti.

Secara regulasi langkah penutupan PT. Tanjung Odi sejauh ini memang bisa dipersoalkan. Sebab, penutupan sementara itu tidak dilandasi aturan dan prosedur yang jelas. Bahkan, dalam pengamatan penulis, Surat Penutupan itu sekedar menyebut hasil rapat forkopimda sebagai dasar pengambilan keputusan penutupan. Pertimbangan lainnya didasarkan pada argumentasi pencegahan laju penularan corona.

Padahal, jika berkaca pada beberapa daerah lain seperti DKI Jakarta kondisinya jauh berbeda. Pemprov DKI jauh-jauh hari telah menyiapkan seperangkat regulasi untuk setiap sektor, termasuk operasional perusahaan di masa pandemi. Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 33 Tahun 2020 telah mengatur mekanisme penutupan perusahaan selama 14 hari, setelah pekerjanya jadi pasien corona. Begitu pula halnya dengan kasus 2 pekerja PT. Sampoerna Surabaya yang dikonfirmasi positif corona. Pemkot Surabaya tidak gegabah melakukan penutupan pabrik itu secara sepihak. Penghentian aktivitas PT. Sampoerna justru dilakukan oleh pihak manajemennya sendiri.

Dilihat dari aspek tujuan penutupan sementara PT. Tanjung Odi, bisa dipahami untuk melindungi keselamatan pekerja dari bahaya corona. Tetapi, tujuan mulia itu tidak dibarengi dengan cara yang sahih. Penutupan itu telah menyimpang dari asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Asas kepastian hukum yang dilanggar. Artinya, tindakan penutupan itu tidak didasarkan pada peraturan hukum yang tertulis.

Bagaimana mungkin sebuah kebijakan publik hanya didasarkan atas hasil rembukan yang sifatnya sepihak dan subjektif, sementara akibat dari penutupan itu rentan memicu dampak yang bisa jadi merugikan pekerja PT. Tanjung Odi, secara langsung maupun tidak langsung. Kenapa tidak melibatkan perusahaan dan serikat pekerja? Tentu ini sebuah persoalan.

Sampai hari ini (26/6) kondisi PT. Tanjung Odi memang sepi dari aktivitas. Tak ada hilir mudik pekerja yang masuk di pagi hari dan pulang di sore hari. Hanya saja, penulis tidak melihat ada satupun banner yang menyatakan pabrik itu sedang ditutup. Tak ada penjagaan aparat.

Kondisi tersebut, lagi-lagi dapat memicu prasangka publik. Apakah Satgas Corona Sumenep tidak menetapkan prosedur penutupan perusahaan di masa pandemi? Belum lagi persoalan status dari PT. Tanjung Odi pasca penutupan. Apakah pabrik itu ditutup untuk di karantina atau ditutup untuk mengisolasi pekerja saja. Tidak jelas kebijakannya.

Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tahun 2020 tentang perlindungan pekerja/buruh dan kelangsungan usaha dalam rangka pencegahan dan penanggulangan covid-19, sejatinya telah membatasi kebijakan pemerintah di daerah dalam bentuk pembatasan kegiatan usaha. Sebab, secara substansi SE itu berkepentingan untuk melindungi pekerja dan keberlangsungan usaha, sebagai salah satu penggerak ekonomi di tengah pandemi. Artinya, jangan sampai kebijakan pemerintah di daerah memicu terjadinya resesi ekonomi akibat kebijakan yang salah dan gegabah.

Pemkab sejauh ini terkesan gagap dan gugup menghadapi pandemi. Untuk mengatasi persoalan ini, tentu saja Bupati perlu mengevaluasi kinerja OPD-OPD yang kurang memahami regulasi sehingga memberikan informasi yang rentan mis-interpretasi.

Red. Herman SH,
Aktivis Pemerhati Buruh

(Msr)

Facebook Comments