Debt Collector Debitur Kreditor Siapakah yang Bermasalah?

Oleh : Nuri Nurzikri

Tangerang | Banten, suaramedia.id – Fenomena mencuatnya berita kasus 10 orang debt collector yang ditangkap di Jakarta belakangan ini membuktikan permasalahan yang ada dan lemahnya lembaga keuangan untuk bisa menata sistem yang menjamin pengembalian pinjaman oleh debitur

Rasio kredit berkaitan erat dengan sistem pengembalian pinjaman kredit yang tidak bisa hanya dibebankan pada hilir (Collection) saja. Saat inisiasi awal kredit sangat penting prosesnya dijalankan dengan mengikuti aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Peraturan Menteri Keuangan (PMK), dan surat edaran bank Indonesia (BI). semisal peraturan OJK terkait perlindungan konsumen lembaga keuangan, penerapan aturan prinsip mengenal nasabah, atau program anti pencucian uang.

Terdapat adagium dalam proses kerja “garbage in-garbage out” ini berlaku juga dalam proses kredit. jika diawal sudah ada upaya rekayasa data calon nasabah, kemudian saat survei petugas tidak menjalankan kaidah survei yang benar minimal pemeriksaan character-capacity-capital-collateral-condition atau disingkat (prinsip “5C”) lalu komite kredit-pun tidak memfilter berkas dengan baik maka kemungkinan besar fraud kredit terjadi

mahfum biasanya calon debitur yang ingin memanfaatkan fasilitas kredit dari lembaga keuangan selalu “dibisiki” oleh marketing agar menyiapkan “bensin” untuk surveyor walaupun hal itu tidak selalu me-representasikan semua petugas surveyor mau menerimanya. Atau ada juga petugas surveyor mendapatkan “insentive” (gratifikasi) dari marketing atau dealer atas “jasa”nya meng-goalkan (acc) berkas aplikasi kredit walau kejadian ini belum tentu menggambarkan pengalaman surveyor dari banyak lembaga keuangan.

Biasanya kejadian “uang” bensin dan “Insentive” cukup rapi tertutup rapat dari ‘Radar” pengawasan manajerial lembaga keuangan dan jika pun diketahui oleh supervisor, biasanya tutup mata dan cukup sama-sama tahu. ironisnya justru sekarang banyak lembaga keuangan memberikan insentive jor-joran kepada marketing dan dealer untuk menjaring calon nasabah yang sudah barang tentu menjadi “beban” apabila berkas calon itu ditolak karena kriteria 5C kurang bagus.

Industri jasa keuangan merupakan bisnis yang menuntut kemampuan manajemen dalam mengelola resiko. disadari ke-resiko-annya oleh para pemodal, investor dan pengambil kebijakan. jika masuk ke industri ini untuk coba-coba, atau pemain baru, jangan harap dalam perjalanan bisnisnya akan mulus dan tidak “berdarah-darah”. Catatan OJK telah banyak mencabut izin usaha lembaga keuangan yang “nanggung” dan setengah hati dalam menjalankan operasionalnya.

Untuk diketahui saja terkait pengelolaan lembaga keuangan di Indonesia, kesalahan dalam menerapkan regulasi oleh manajemen dapat menggelincirkan manajerial, direksi bahkan komisaris dalam tuntutan tindak pidana perbankan. beberapa syarat untuk menjadi pejabat lembaga keuangan cukup ketat dan dituangkan syarat-syaratnya dalam peraturan OJK. sertifikasi rutin berkala menjadi filter bagi manajerial lembaga keuangan agar tidak salah pengelolaan dan selalu menjalankan aturan usaha sesuai kebijakan keuangan di Indonesia.

Untuk beberapa lembaga keuangan seperti bank mungkin berbeda (kualitas) sistemnya dan juga telah memiliki pengawasan karyawan yang lebih ketat. Bank semestinya sudah (memiliki) menerapkan standar etika usaha dan standar etika perilaku karyawannya yang berkesesuaian dengan peraturan BI juga POJK.

Namun lagi-lagi, catatan kasus terkait sepak terjang debt collector perbankan yang menyalahi aturan, dan juga pelayanan oknum marketing perbankan yang menorehkan gambaran bukti penyimpangan dan pelanggaran. Seperti penyimpangan eksposure kredit, rasio kredit, plafond kredit dan jumlah kepemilikan kartu kredit banyak terjadi. ujung-ujungnya, desk coll melepas pengelolaan account ke bucket kolektibilitas kurang lancar. selanjutnya diturunkan debt collector yang melakukan penagihan dengan metode presure, menekan mengancam dan memainkan psikologis debitur.

Gambaran sederhana tentang jenis lembaga keuangan di Indonesia dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu lembaga bank, lembaga bukan bank dan lembaga pembiayaan. Untuk lembaga bank dapt dibagi lagi dengan kategori bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR). untuk lembaga keuangan bukan bank dapat dibagi menjadi asuransi, dana pensiun dan sekuritas. sementara itu lembaga pembiayaan dapat dikategorikan menjadi perusahaan pembiayaan (finance company) dan modal ventura.

Baca Juga..!  Transformasi Keuangan Digital : Waspada Investasi Ilegal dan Perlindungan Konsumen di Era Digital

Lembaga-lembaga diatas yang erat kaitannya dengan tugas-tugas penagihan (collection) sehingga mengharuskannya membentuk satu departemen khusus penagihan dalam institusinya adalah bank dan lembaga pembiayaan. ini sejalan dengan core bisnis lembaga tersebut yang memang memiliki izin untuk memasarkan pendanaan atau membuka keran penyaluran kredit bagi masyarakat seperti pembiayaan investasi, pembiayaan modal kerja atau pembiyaan multiguna baik itu konsumtif, maupun pembelian barang.

Dalam proses penyaluran kredit tersebut tentunya lembaga keuangan memiliki divisi pemasaran (marketing) yang pada prosesnya memiliki target-target yang ditetapkan secara keras dan ketat. ini tentu hal yang umum dan lumrah dalam industri kredit dan pembiayaan dimana setiap dana yang didapatkan baik itu melalui penghimpunan dari masyarakat atau chaneling dituntut agar bisa (kembali) diserap masyarakat dan kemudian menghasilkan margin.

Proses pemasaran inilah menjadi celah krisis dimana pembangunan fondasi terbentuk. Apakah kemampuan bayar debitur cukup baik sehingga mampu mengembalikan cicilan pinjaman ataukah menjadi debitur yang gagal bayar dan menjadi fraud. ingat adagium diatas : garbage in-garbage out.

Problem umum marketing kredit adalah kurangnya pembekalan standar etika perilaku atau, mungkin sudah mendapatkannya hanya moral etika dikalahkan oleh kebutuhan hidup, tekanan target atau bisa juga tuntutan duniawi. maka jika ini berlaku akan muncul ide-ide kreatif untuk menghalalkan segala cara.

Diujungnya berkas aplikasi nasabah muncul di meja collection dalam daftar overdue. tak tanggung-tanggung debitur masuk daftar kualitas diragukan (overdue diatas 120) maka kepala departemen penagihan terpaksa menandatangani surat kuasa penagihan atau bahkan penarikan jaminan yang dikuasakan kepada debt collector. di proses inilah krisis kedua berjalan bagi bank ataupun lembaga pembiayaan.

Ada perbedaan status antara internal collector lembaga keuangan dengan debt collector yang bergerak individu atau kelompok dibawah naungan badan hukum. Internal collector lembaga bank dan lembaga keuangan umumnya memiliki penghasilan tetap berupa gaji dan tunjangan. berbanding terbalik dengan debt collector yang hanya mendapatkan bayaran jika berhasil menagih tagihan hutang atau jaminan hutang.

Dengan kata lain jika debt collector gagal menagih maka tidak akan mendapatkan bayaran. itulah biasanya debt collector akan memaksa dalam pekerjaannya hingga berdarah-darah jika perlu. inilah fase dimana debitur akan mendapatkan pressure atau tekanan psikis yang membuat tidak nyaman, sehingga bila menghadapi collector layaknya melihat hantu. Sangat berbanding terbalik saat awal kredit dimana marketing berparas bidadari dengan halus dan lembut menawarkan pinjaman kredit.

Dalam sesi pelatihan basic collection, instruktur selalu menekankan pada petugas collection untuk menguasai tehnik mengontak (telepon), mengarahkan pada pembayaran, dan mengarahkan debitur untuk melunasi cicilan. bila perlu meminjam pada pihak lain yang penting pembayaran padanya bisa terpenuhi.

Collector juga dibekali tehnik bertanya yang dapat mengunci debitur agar tidak berkilah sehingga bisa memberikan kepastian waktu saat membayar lalu dicatat dan untuk dihubungi kembali. lebih jauh lagi petugas collector diberi kemampuan meng-investigasi posisi jaminan, pemegang terakhir dan melokalisirnya.

menariknya adalah petugas collector profesional selalu memahami urutan atau hal-hal yang paling ditakuti oleh umumnya manusia dalam pembekalan pelatihan sebagai tambahan guna menekan debitur agar membayar hutangnya.

Untuk debitur yang masih dilayani oleh internal collector internal lembaga biasanya masih diperlakukan dan dilayani secara manusiawi, istilahnya persuasive dan level”service”. Internal collector diberikan pemahaman dan kemampuan untuk me-maintenance account (debitur) karena hal tersebut lebih penting ketimbang harus melakukan write off. selain itu merawat customer eksisting lebih terjamin daripada mencari customer baru. protect asset adalah falsafah collection dimana nasabah dan jaminan merupakan objek yang sama-sama berharga.

Baca Juga..!  Orang Nomor Satu Kota Tangerang Sambut Kedatangan Rakorwil III

Dalam beberapa kasus yang mencuat, dilaporkan internal collector maupun debt collector dianggap melakukan “malpraktek” saat menjalankan tugasnya. malpraktek disini artinya tindakan yang menyalahi aturan OJK dan surat edaran BI dalam penagihan maupun pengambil-alihan jaminan kredit.

Menghadapi hal semacam ini masyarakat perlu diberikan edukasi dan diberikan literasi keuangan untuk memahami hal ihwal lembaga keuangan. konsumen jasa keuangan perlu mengetahui hak-haknya sebagai debitur. banyak yang masih awam terkait apa itu fiducia, dan kapan fiducia bisa digunakan. bagaimana syarat-syarat yang harus dilakukan saat jaminan diambil alih, dan oleh siapa pengambilan itu dilakukan. kemudian terkait jaminan kredit berapa selisih nilai jaminan harus diterima setelah dikurangi pokok hutang saat dilelang. juga berapa pengembalian nilai polis asuransi yang telah dipotong dimuka saat membayar uang muka.

Kasus-kasus yang banyak dihadapi oleh debitur antara lain adalah ditelepon kekantor tempat kerja debitur dengan menginformasikan maksud penagihan (menagih hutang) debitur pada operator (CS) dan atasan atau seluruh rekan debitur dikantornya. mengirim faksimile penagihan hutang berlembar-lembar kekantor yang menghabiskan kertas faksimile, menelpon keluarga lain yang bisa dihubungi dengan penekanan bahkan teror, juga menginformasikan tunggakan hutang pada tetangga dan banyak lainnya. apakah semua tindakan collector itu wajar, bolehkah lembaga keuangan melakukan penekanan atau apakah tindakan itu ilegal?

Dalam liputan eksklusive oleh Vice Media terkait debfadher atau debt collector di Indonesia dakatakan oleh Ligwina Hananto atau akrab disapa Wina seorang financial planner, “industri penagihan (debt collector) sangat penting agar perbankan memiliki tingkat kredit dan struktur yang sehat.”

“Sistem debt collector ini bisa menurunkan jumlah utang tidak tertagih. tidak ada magic solution untuk kredit macet” ditambahkan Wina “untuk permasalahan tagihan hutang tidak ada solusi lain selain solusi sederhana yaitu ya bayar hutang”

“selama penghutang tidak tahu harus membayarnya dengan apa, selama itu pula perbankan berhadapan dengan resiko sangat besar atas kemungkinan kredit macet. ini bisa jadi bahaya yang lebih besar bagi ekonomi Indonesia” ujar Wina.

pendapat pragmatis diatas boleh jadi tepat untuk pengentasan rasio kredit sesaat. hanya saja untuk jangka panjang pemilihan debt collector sebagai penguatan kebijakan moneter Indonesia belum menyentuh permasalahan besar dan mendasar perbankan Indonesia.

Penguatan sistem penagihan melalui debt collector belum tentu memberikan solusi. permasalahan besar perbankan seperti diketahui pernah terjadi di kurun tahun 90an dimana perbankan pernah jatuh, yang meninggalkan PR seperti kasus BLBI.problem perbankan bukan masalah kredit macetnya saja. Juga ada kebijakan dan pengelolaan yang salah disana.

Pokok kebijakan dan etika penagihan cukup lengkap dicantumkan dalam beberapa peraturan serta surat edaran BI dan OJK. disebutkan bahwa penagihan dilarang dilakukan dengan menggunakan cara-cara ancaman, kekerasan dan tindakan yang bersifat mempermalukan. penagihan menggunakan sarana komunikasi dilarang dilakukan secara terus menerus yang bersifat mengganggu dan hanya dapat dilakukan ditempat alamat penagihan atau domisili.

Lalu bagaimana jika nasabah tetap mendapatkan perlakuan seperti disebutkan diatas? seharusnya pihak lembaga keuangan perlu waspada jika hal itu terus terjadi. jika kejadian penagihan dengan ancaman dilakukan pada nasabah yang faham aturan tentu hal tersebut dapat dijadikan dasar pengaduan. dengan saluran resmi seperti [email protected] atau [email protected] bisa juga melalui [email protected].

Tambahan juga jika lembaga keuangan merupakan BUMN ber-plat merah konsumen perbankan dapat membuat tembusan pada kementrian BUMN sebagai pembina sekaligus pengawas usaha.

Jika eskalasi tekanan dan ancaman debt collector sudah cukup “berat” dengan bukti yang valid seperti screenshoot SMS atau foto ancaman maka pengaduan dapat ditembuskan kepada lembaga rakyat dalam hal ini DPR-RI yang membidangi keuangan dan perbankan (komisi XI). tentu resikonya sangat berat bagi lembaga keuangan. peninjauan sampai pemeriksaan terkait pengaduan akan berimbas pada pemeriksaan operasional lembaga keuangan tersebut.

Baca Juga..!  OJK Kantor Regional 1 Gelar Rapat Dewan Komisioner Bulanan Secara Virtual

Dari sisi lembaga keuangan memang cukup berat dalam mengelola industri ini. Industri keuangan dan perbankan memiliki aturan yang ketat dalam usahanya. Belum lagi modal biaya yang harus dibebankan diberbagai lini operasional.

Departemen collection sendiri bisa jadi menanggung beban biaya paling utama. seperti biaya penagihan, biaya litigasi, pengelolaan jaminan/asset, biaya penghapusan (write off) dan juga biaya sertifikasi profesi penagihan.

Terkait sertifikasi profesi ini sifatnya wajib dan sudah dituangkan dalam peraturan OJK nomor 35/POJK.05/2018 tentang penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan (bab XIII) terkait sertifikasi dan syarat keberlanjutan bagi pihak utama.

jika ditelusuri lebih lanjut belum semua lembaga keuangan menjalankan kewajiban sertifikasi ini. bisa jadi ini menyangkut beban biaya dan juga strategi lembaga keuangan untuk meminimalkan pengeluaran.

Untuk lembaga keuangan yang “turn over” karyawannya lumayan tinggi, menginvestasikan biaya sertifikasi lumayan memakan biaya. beberapa lembaga keuangan mensiasati sertifikasi dengan memilih karyawan yang dalam tugasnya langsung berhubungan dengan konsumen (nasabah) seperti collector. itu pun dipilih khusus yang masa kerjanya sudah cukup dan dipandang memiliki konditeu baik. Dan juga bergiliran karena sertifikasi ini sifatnya berkala (kontinyu dan diperbaharui)

Cilakanya adalah lembaga penagihan eksternal yang menaungi debt collector yang disewa oleh lembaga keuangan, rata-rata tidak memiliki minat untuk men-sertifikasikan para anggautanya. inilah juga yang menjadi sandungan serta dasar penuntutan pihak berwajib ketika terjadi kasus penangkapan 10 orang debt collector terakhir di Jakarta dalam kasus pengepungan jaminan asset roda empat yang dikemudikan aparat negara.

Permasalahan lembaga keuangan di Indonesia sangat kompleks dan rumit. banyak kasus-kasus terungkap seperti penggelapan uang nasabah oleh oknum perbankan, investasi bodong, dan banyak hal lain lagi. terdapat juga berita pejabat perbankan yang menorehkan kabar kurang baik bahkan berujung pada pemidanaan kejahatan perbankan. bencana besar keuangan Indonesia yang dikenal dengan kasus BLBI betapa hal itu menggambarkan pernah para bankir Indonesia mengalami kegagalan dan kesalahan dalam menjalankan bisnisnya.

Pada akhirnya, pekerjaan rumah pengambil kebijakan, pemerintah dan juga pembuat keputusan cukup berat.

Dalam roadmap pengembangan perbankan Indonesia mencakup pengembangan bank konvensional yang bertujuan agar pengembangan perbankan dapat berjalan selaras dengan visi pembangunan Indonesia untuk mewujudkan Indonesia mandiri maju adil dan makmur.

Sungguh rencana yang mulia, hanya saja pada prakteknya perlu dukungan semua pihak tanpa terkecuali masyarakat. Pada akhirnya masyarakat sesungguhnya memiliki pilihan ditangannya sendiri apakah bersedia memaparkan diri dalam resiko penagihan debt collector ataukah bersedia untuk mengatur keuangan dengan menjaga pinjaman dengan membayarnya secara tertib. Atau bahkan jika memungkinkan jauhi hutang sebisa mungkin dengan menyikapi uang secara bijak, mengatur pengelolaannya, mengarahkan masa depan dengan baik.

Jika ini semua bisa dilakukan harapan kedepannya tidak ada (pernah) lagi terdengar berita terkini dimana 24 orang debt collector dari 24 lembaga keuangan online (Pinjol) meneror seorang guru TK di kota Malang jawa timur yang berhutang sebesar total 40 juta, sehingga membuat yang bersangkutan stress sampai berniat bunuh diri.

Oleh : Red/Nuri

Pamulang, 23 Mei 2021

Facebook Comments