suaramedia.id – Korps Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri terus bergerak cepat dalam menelusuri aset-aset yang diduga terkait dengan Halim Kalla dan sejumlah tersangka lain dalam kasus mega korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat. Langkah ini diambil untuk mengungkap aliran dana haram dan potensi keterlibatan pihak lain yang mungkin menikmati hasil korupsi tersebut.

Related Post
Brigjen Totok Suharyanto, Direktur Penindakan Kortas Tipikor Polri, mengungkapkan bahwa pihaknya menggandeng Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri jejak aliran dana korupsi yang merugikan negara ini. "Proses penelusuran masih berjalan intensif. Kami bekerja sama dengan PPATK untuk melacak ke mana saja dana tersebut mengalir," ujarnya kepada suaramedia.id – .

Penelusuran aset ini, lanjut Totok, juga bertujuan untuk mendalami kemungkinan adanya pihak lain yang terlibat dalam kasus korupsi ini, termasuk potensi pengembangan tersangka yang mungkin membantu dalam pencucian uang hasil kejahatan. Penyidik saat ini tengah fokus memeriksa sejumlah saksi dan ahli untuk memperkuat bukti-bukti yang ada. Setelah itu, pemeriksaan terhadap para tersangka yang belum ditahan akan segera dilakukan.
Sebelumnya, Kortas Tipikor Polri telah menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembangunan PLTU 1 Kalbar periode 2008-2018. Keempat tersangka tersebut adalah Fachmi Mochtar (Direktur PLN periode 2008-2009), Halim Kalla (Presiden Direktur PT BRN), RR (Dirut PT BRN), dan HYL (Dirut PT Praba).
Fachmi Mochtar diduga kuat melakukan pemufakatan jahat dengan tiga tersangka lainnya untuk memenangkan tender proyek PLTU tersebut. Ia diduga meloloskan KSO BRN-Alton-OJSEC meskipun tidak memenuhi syarat administrasi dan teknis yang ditetapkan. Akibatnya, hingga masa kontrak berakhir, proyek PLTU tersebut hanya selesai 57 persen. Meskipun telah diberikan perpanjangan waktu hingga 10 kali, proyek tersebut tetap mangkrak.
Data terakhir menunjukkan bahwa pembangunan PLTU 1 Kalimantan Barat hanya mencapai 85,56 persen. Proyek tersebut terhenti karena KSO BRN diduga mengalami keterbatasan keuangan, padahal PLN telah membayarkan dana sebesar Rp323 miliar dan USD62,4 juta. Kasus ini terus bergulir dan menjadi perhatian publik karena kerugian negara yang sangat besar.










Tinggalkan komentar