
Artikel Berita:

Related Post
suaramedia.id – Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari puluhan advokat dan pegiat HAM kembali menggugat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK). Langkah ini diambil setelah sebelumnya MK menolak gugatan formil terhadap UU yang sama.
Gugatan materiil ini diajukan oleh lima organisasi, yaitu Imparsial, YLBHI, KontraS, AJI Indonesia, dan LBH APIK Jakarta, serta tiga individu yang aktif mengkritisi reformasi TNI. Mereka menilai UU TNI mengandung sejumlah pasal bermasalah yang mengancam supremasi sipil dan reformasi sektor keamanan.
Koalisi menyoroti beberapa poin krusial dalam UU TNI. Pertama, pasal yang memberikan kewenangan kepada TNI untuk mengatasi pemogokan dan konflik komunal dinilai melanggar kebebasan sipil dan kepastian hukum. Mereka berpendapat, pemogokan adalah hak yang dijamin konstitusi, dan frasa "konflik komunal" yang tidak jelas membuka peluang penyalahgunaan wewenang.
Selanjutnya, koalisi mengkritik pasal yang memberikan kewenangan kepada TNI dalam menanggulangi ancaman pertahanan siber. Mereka khawatir hal ini dapat membuka ruang bagi militer untuk terlibat dalam urusan keamanan siber sipil, yang seharusnya menjadi ranah penegak hukum dan ahli keamanan siber.
Peniadaan fungsi pengawasan DPR dalam operasi militer juga menjadi sorotan. Koalisi menilai pendelegasian pelaksanaan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) kepada Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah tanpa melibatkan DPR menghapus fungsi checks and balances dan berpotensi membuka ruang penyalahgunaan kewenangan.
Selain itu, koalisi menyoroti pasal yang memperbolehkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil di lembaga-lembaga seperti Kesekretariatan Presiden, BNN, dan Kejaksaan RI. Mereka menilai hal ini sebagai kemunduran reformasi TNI dan melegalisasi dwifungsi TNI, yang berbahaya bagi birokrasi sipil dan profesionalisme militer.
Perpanjangan usia pensiun perwira tinggi hingga 63 tahun juga dianggap diskriminatif dan menciptakan ketidakadilan struktural di tubuh TNI. Koalisi menilai hal ini memperlambat regenerasi, mempersempit peluang promosi perwira muda, dan menambah beban anggaran pertahanan tanpa memperkuat profesionalitas TNI.
Terakhir, koalisi menyoroti mandeknya reformasi peradilan militer. Penundaan penerapan pasal yang mengharuskan prajurit TNI tunduk pada peradilan umum untuk perkara pidana umum dinilai menimbulkan impunitas dan pelanggaran terhadap prinsip kesamaan di hadapan hukum. Mereka menilai hal ini sebagai kegagalan negara dalam melaksanakan amanat reformasi peradilan militer.
Koalisi berharap MK dapat mengabulkan gugatan mereka dan membatalkan pasal-pasal bermasalah dalam UU TNI. Mereka menegaskan bahwa gugatan ini merupakan upaya untuk menjaga supremasi sipil, memperkuat reformasi sektor keamanan, dan mencegah kembalinya dwifungsi TNI. Sebelumnya, gugatan formil dengan pemohon dari Imparsial, YLBHI dan KontraS ditolak oleh MK. Dalam putusan tersebut, terdapat dissenting opinion dari empat hakim konstitusi.










Tinggalkan komentar