Suaramedia.id – Rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada awal tahun depan menuai kontroversi. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menyoroti perlunya kajian ulang terhadap kebijakan ini. Menurutnya, menaikkan PPN di tengah kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat yang belum stabil justru berpotensi kontraproduktif.

Related Post
Esther memperingatkan agar rencana kenaikan PPN sesuai UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi. Ia mengutip Teori Laffer yang menyatakan bahwa peningkatan pendapatan pajak (tax revenue) didahului oleh pertumbuhan ekonomi, bukan sebaliknya. "Ekonomi harus tumbuh dulu, baru penerimaan pajak meningkat. Bukan tarif pajak dinaikkan, lalu ekonomi otomatis tumbuh," tegas Esther dalam keterangannya.

Lebih lanjut, Esther menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap rencana kenaikan PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025. Kondisi ekonomi terkini dan proyeksi ke depan harus menjadi pertimbangan utama. Jika analisis menunjukkan kenaikan PPN kurang tepat, pemerintah perlu bersikap realistis dan menunda implementasinya. Keputusan menaikkan PPN semestinya didasarkan pada data dan perhitungan yang matang, bukan sekadar target penerimaan negara. Potensi distorsi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga perlu diwaspadai. Dengan kata lain, peningkatan PPN harus diiringi dengan strategi yang memastikan pertumbuhan ekonomi tetap terjaga dan daya beli masyarakat tidak tergerus.










Tinggalkan komentar