Mengendalikan Amarah Bukanlah Persoalan Yang Mudah Oleh : Ahmad Basori

TANGERANG | BANTEN,suaramedia.id Marah merupakan salah satu bentuk emosi yang dianugerahkan oleh Tuhan YME . Sama halnya dengan senang, sedih, takut yang merupakan respon dari bekerjanya indera manusia.

Maka pada dasarnya marah itu secara proporsional justru dibolehkan seperti kemarahan yang ditujukan dalam rangka membela diri, kehormatan, harta, agama, hak-hak umum atau menolong orang yang di zholimi.

Dalam kehidupan sehari-hari kita akan memaklumi orang tua yang memarahi anaknya disebabkan malas dalam belajar, guru yang memarahi muridnya karena asyik ngobrol saat penjelasan materi pelajaran, suami yang menegur istrinya disebabkan suka berkumpul ngerumpi ngomongin orang dengan ibu-ibu tetangga.

Berbeda halnya, jika tindakan memarahi seseorang itu sudah tidak proporsional lagi dan  melampaui batas. Memarahi dengan tutur kata yang kasar dan melukai fisik, maka tindakan ini tidak diperbolehkan. Kemarahan itu bercampur dengan rasa dendam, sakit hati, dan perasaan terhina maka kolaborasi penyakit hati ini bisa membuncah menghilangkan kejernihan berfikir, kelembutan hati berganti dengan dominasi sifat kebinatangan yang siap menanduk siapa saja yang dihadapannya.

Awalnya yang keluar dari mulut adalah kata-kata kotor, kasar dan menyakitkan, tidak cukup puas dengan sekedar berkata-kata lalu dilampiaskan dengan tindakan.

Tangan kini mulai bergerak lalu memukul, menendang, melempar bahkan membunuh. Di media massa sering kali kita melihat kasus kekerasan dan pembunuhan disebabkan oleh amarah yang memuncak. 

Di Prabumulih (2021) seorang anak tega membunuh ibu kandungnya sendiri lantaran kesal sering dimarahi. Lain halnya di daerah lampung (2020) dua remaja membunuh kawan mereka sendiri lantaran sering bertengkar saat bermain game online.

Pertengkaran di jalan raya pasar minggu (2020), yang tidak terima ketika lajurnya dipotong lalu hilang kendali menabrakkan mobilnya ke mobil yang memotong lajurnya itu dan membabi buta juga menabrak pengendara motor hingga akhirnya tewas. 

Mengendalikan amarah bukanlah persoalan yang mudah karena amarah itu sangat erat kaitannya dengan harga diri yang terhina atau martabat yang di rendahkan.

Baca Juga..!  Tak Hanya Tempat Wisata, di LPKA I Tangerang Juga Ada Outbound

Diperlukan kedalaman ilmu, agama, kebersihan hati, kejernihan berfikir. Seseorang akan meluapkan amarah yang berlebih salah satunya disaat harga diri  dan martabatnya terganggu.

Bapak saya pernah menasehati tentang masalah harga diri ini sewaktu saya masih kuliah, katanya begini, “orang yang berkelahi itu penyebabnya karena salah satunya tidak ada yang mau mengalah. Saat dia mengalah maka disitulah kewibawaannya turun, harga dirinya tercabik-cabik. Dalam pikirannya akan menggunakan berbagai cara agar lawannya jatuh bertekuk lutut bahkan terluka.

Hakikat manusia menurut bapak saya, itu adalah makhluk yang diciptakan dari tanah yang berada dibawah dan selalu di injak-injak. Lalu kenapa marah saat dihina atau dicaci maki ? Kalau marah, jawabnya karena mereka menganggap dirinya lebih mulia daripada Tanah. Hinaan terkadang tidak usah terlalu berlebihan dalam menanggapinya jika itu tidak benar dan tidak ada di dalam diri kita tidak usah diambil pusing.

Misalnya seseorang dihina miskin, bodoh, tidak bagus dalam memimpin, tidak peduli, maka akui saja bisa jadi penilaian itu benar, karena keterbatasan kita dalam ketidakmampuan menilai diri kita sendiri. Yang tau benar siapa diri kita, sesungguhnya adalah orang lain, kita bisa jadi tidak tahu. Bahkan sekalipun kita tahu, kita tidak mau mengakui kekurangan kita.

Rasulullah SAW saja tidak marah jika dirinya dihina tetapi ketika Agama yang dihina maka beliau paling depan untuk membela.

Peristiwa dakwah Nabi Muhammad SAW ke thaif yang disambut dengan pelecehan, umpatan, penghinaan yang diluapkan dengan kata-kata kotor bahkan lemparan batu yang membuat Nabi terluka.

Lalu apakah Nabi membalas penduduk thaif ? Nabi tidak membalasnya meskipun telah ditawarkan oleh malaikat Jibril untuk menimpahkan gunung kepada masyarakat Thaif.

Dengan kehalusan jiwa dan kelembutan hati, perilaku yang tidak menyenangkan bahkan menyakiti, dibalas oleh Nabi dengan doa.

Baca Juga..!  Kader Posyandu Apresiasi Wali Kota atas Pembangunan Kesehatan di Kota Tangerang

*Menahan Amarah dan Mudah Memaafkan*
Alkisah dalam sebuah peperangan Ali Bin Abi Thalib menantu Rasulullah SAW, sukses mengalahkan lawannya. Ali memukul pedang lawannya hingga terlempar, kemudian menjatuhkannya. Dia lalu menudingkan ujung pedang itu di leher lawannya hingga tak berkutik di tanah. Melihat kejadian yang mengherankan tersebut, seseorang lalu bertanya, mengapa Ali malah pergi dan bukan membunuh musuh yang sudah menyerah kemudian meludahinya? Ali menjawab aku diludahi, maka timbul amarah dan benci dalam hatiku kepadanya. Karena itu aku meninggalkannya. Ia melanjutkan betapa marahnya Allah kepadaku jika aku membunuhnya karena amarah dan kebencian.

Kemuliaan seseorang itu diuji bagaimana reaksinya dalam meluapkan amarah. Di saat dia mampu mengendalikan amarah maka dalam Islam dia termasuk orang yang kuat dan termasuk dari ciri-ciri orang yang bertakwa.

Sedangkan orang yang tidak mampu mengendalikan amarahnya akan terjerumus pada tindakan kekerasan bahkan pembunuhan maka dialah orang yang lemah dan kalah bahkan di murkai oleh Allah SWT.

Sekali lagi marah itu boleh tetapi secara proposional, dalam tradisi priyayi di Jawa, kita akan melihat budaya halus dalam bertutur maupun meluapkan amarahnya.

Untuk mengetahui amarah mereka  cukup diketahui dari rawut wajahnya saja. Tidak perlu menunggu sampai mereka berkata kasar, merendahkan,melecehkan bahkan melukai fisik.

Meskipun harus terpaksa sebagai orang tua, guru, bos untuk memarahi seseorang dengan menunjukan raut wajah maka mulut lebih baik diam, jika pun mulut terpaksa harus berucap saat marah maka berucaplah dengan tutur kata yang baik , tangan dan anggota badan yang lain itu diam. Jika pun masih belum terkendali maka perintah Rasulullah untuk berwudhu atau berpindah posisi dari posisi berdiri duduk atau berbaring.

Tetapi tetap menahan amarah itu lebih baik dari pada melampiaskannya sebagaimana Rasulullah SAW bersabda Dari Abu Hurairah RA, diketahui, Rasulullah SAW bertemu dengan seorang pria yang meminta nasihat kepadanya. “Wahai, Rasulullah, perintahkan aku untuk mengerjakan amalan baik yang kuanggap sedikit (tidak menyita waktu)!” pinta orang itu.

Baca Juga..!  Sinergitas TNI/POLRI Dalam HUT Bhayangkara di Bandara Soetta

Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Jangan marah!” Sabda ini beliau ulangi berkali-kali tiap orang itu mengajukan pertanyaan yang sama. “Jangan marah!’

Walaupun ada yang mengatakan sebaiknya rasa marah itu dilepaskan saja dan jangan disimpan  karena akan berdampak pada kesehatan jiwa. Tetapi Dadang Hawari, Psikater menilai pendapat ini tidak selalu baik untuk diterapkan. Mengapa? Karena apakah setelah marah dilepaskan lantas kita menjadi puas? Apa bukan sebaiknya justru menyebabkan orang yang dimarahi menjadi sakit dan akhirnya menimbulkan persoalan baru? Lalu bagaimana baiknya yang baik adalah kalau merasa marah kita sekuat kemampuan untuk menahan marah dan memaafkan sambil menyelesaikan pokok permasalahan yang dihadapi.

Menahan amarah dan mudah memaafkan tentu bukanlah anjuran untuk menunjukan sikap lembek dan lemah. Tetapi seperti pepatah Arab bahwa seseorang tidak akan memberi sesuatu kecuali kalau dia punya sesuatu. Kita bisa memberi uang kalau punya uang, memberi makanan jika mempunyai makanan. Demikian juga jika sanggup memberi maaf, berarti mempunyai kekayaan yang membuat sanggup memberi maaf, sikap itu menunjukan sikap Confident ( percaya diri), mantap kepada diri sendiri. Sehingga memberi memberi maaf bukanlah tindakan kekalahan, melainkan justru sebuah kemenangan.

(***)

Facebook Comments