Melawan Kemunduran Kebebasan Berpendapat

Oleh : Ahmad Basori 

(Pemerhati Sosial Politik)

Kota Tangerang | Banten, suaramedia.id – Perkembangan demokrasi di Indonesia mengalami gerak mundur, The Economist Intelligent Unit merilis skor Indeks Demokrasi Indonesia pada tahun 2020 hanya 6,30 dari skal 1-10 yang merupakan skor terendah selama 14 tahun terakhir. 

Sementara itu Freedom House (Washington DC) menempatkan Indonesia pada urutan ke-61 dari 101 negara dan menempatkan Indonesia termasuk kategori “Partly Free” Belum Full demokrasi.

Penyebab penurunan demokrasi pada era Jokowi yang dirasakan oleh masyarakat yaitu kebebasan dalam berpendapat. Lembaga Survey Indikator Politik Indonesia menunjukan 47,7 responden menyatakan setuju bahwa masyarakat makin takut menyampaikan uneg-unegnya. 

57,7 persen masyarakat sepakat bahwa aparat makin semena-mena dalam menangkap warga yang yang berbeda dalam pandangan politiknya.

Permasalahan kebebasan berpendapat di Indonesia secara siklus demokrasi seharusnya memang sudah menuju kearah pendewasaan. Pengalaman buruk dalam kebebasan berpendapat di era orde lama dan orde baru telah mengalami puncaknya saat  peristiwa reformasi 1998.

Hasil dari reformasi politik 1998 menghasilkan perubahan konstitusi yang menjamin kebebasan untuk berpendapat di muka umum tanpa kekhawatiran di kriminalisasi oleh penguasa.  

Pada era Jokowi masalah kebebasan berpendapat ini mengalami arus balik. Penangkapan (kriminalisasi) sejumlah aktivis kelompok yang kritis, Tindakan refresif dalam membubarkan demonstran, Pengkerdilan oposisi di parlemen dan buzzer di dunia maya menjadi permasalahan serius penegakan kebebasan berpendapat. 

Berjalannya roda pemerintahan tanpa adanya sebuah sistem yang menjamin bagi para pengkritik tidak dikriminalisasi adalah sebuah keniscayaan dalam negara demokrasi. Kebebasan berpendapat menjadi salah satu ciri yang membedakan negara yang dijalankan secara demokratis dengan negara yang dijalankan secara otoriter. 

Dalam sebuah negara demokrasi menurut Kleden penguasa jangan lagi dipandang secara paternalistik seakan-akan mempunyai watak kebapaan. Tetapi kekuasaan harus dipandang sebagai orang yang mempunyai potensi penyalahgunaan kekuasaan. Yang kalau tidak diawasi dapat berkembang sampai tingkat sewenang-wenang.

Baca Juga..!  Dr Nurdin : Anggota IKAPTK Harus Lebih Pro-aktif

Secercah titik terang dalam upaya memperbaiki kebebasan berpendapat sudah dilontarkan oleh Jokowi yang akan merevisi UU ITE. Tentunya ini sangat penting karena UU ITE dalam prakteknya dijadikan alat untuk memukul pandangan politik yang berbeda.

Penyelesaian ketegangan sosial sebenarnya dapat diatasi melalui ruang publik yang dikursif justru diseret ke wilayah hukum dengan alasan “negara hukum”. Suatu alasan yang sekedar dialaskan di atas ketidakpahaman konseptual. 

Negara hukum justru hendak meminimalkan penggunaan hukum karena percaya bahwa konflik bisa diatasi dengan kejujuran argumentasi.

Revisi UU ITE merupakan pintu masuk untuk membenahi permasalahan kebebasan berpendapat. Lebih dari itu, upaya pembenahan juga terlebih pada persoalan komitmen penegakan  demokrasi di kalangan para elit politik. 

Sebab pasca reformasi negara ini mengalami perkembangan siklusnya dari transisi demokrasi menuju ke arah konsolidasi demokrasi. 

Bukan sebaliknya mengalami arus balik demokrasi. Praktek-praktek bernegara dijalankan dengan cara orde baru tanpa kritik dan  oposisi yang dilembagakan.

Lalu jika negara dijalankan dengan cara orde baru itu, dapatkah di jamin bahwa kesalahan-kesalahan orde baru berupa maraknya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme tidak teruang lagi? Maka sekali lagi komitmen elit politik menjadi kunci bagi penegakan nilai-nilai demokrasi di Indonesia.  

Indonesia, Berdemokrasi, Jaya dan Sejahtera

(Bas – Zk)

Facebook Comments