Mosi Tidak Percaya kepada DPR

Oleh : Ahmad Basori (Pemerhati Sosial Politik)

TANGERANG | BANTEN, Suaramedia.id – Mosi tidak percaya yang dilayangkan oleh buruh dan mahasiswa kepada DPR menggema di tengah-tengah unjuk rasa buruh menolak UU Cipta Kerja 5 Oktober 2020. Selain di unjuk rasa, mosi tidak percaya juga menggema di media sosial ramai tagar yang intinya tak mempercayai lagi DPR.

Mosi tidak percaya yang dilayangkan oleh buruh dan mahasiswa ditanggapi oleh elit politik dengan nada yang sumbang. Seperti yang ditanggapi oleh Aziz Syamsudin Wakil Ketua DPR dengan mengatakan ” “Ya, kalau tidak percaya, nanti pada saat pemilu jangan dipilih”. tribun jabar (6/10/20)

Begitu pula Mayjen TNI (purn) TB Hasanuddin menanggapi bahwa yang berhak menyatakan mosi tidak percaya adalah DPR secara politik kepada kebijakan pemerintah, bukan dari publik. PikiranRakyat-Cirebon.com (15/10/20)

Jawaban para elit politik terhadap mosi tidak percaya kepada DPR seyogyanya ditanggapi dengan bijak dan seksama. Pasalnya mereka adalah wakil rakyat yang mewakili kepentingan rakyat banyak terutama buruh yang akan terkena dampak dari pelaksanaa  UU Cipta Kerja ini. Mereka itu bukan mewakili pemerintah atau mewakili pengusaha. Kedaulatan rakyat dalam sistem demokrasi sangat di junjung tinggi.

Tanggapan anggota dewan seperti diatas, seakan-akan ada jarak antara rakyat dengan wakilnya di parlemen. Komunikasi antara rakyat dengan anggota parlemen sangatlah buruk sehingga penolakan keras terhadap UU Cipta Kerja yang tidak menyuarakan aspirasi rakyat terjadi.

Kekisruhan penolakan UU cipta kerja oleh buruh dan mahasiswa merupakan bukti lemahnya fungsi anggota DPR dalam menyerap aspirasi masyarakat dalam pembentukan perundang-undangan.

Kelemahan itu terjadi karena kondisi bangsa Indonesia yang sedang menghadapi wabah covid-19 yang mengakibatkan terbatasnya untuk berkumpul dan bermusyawarah untuk menampung aspirasi rakyat banyak. Memang idealnya memang DPR RI itu  menunda membuat undang-undang dan fokus mengatasi wabah covid-19.

Baca Juga..!  Tolak Undang undang Omnibus Law Ciptakerja, Mahasiswa Aliansi Rakyat Tangerang Demo di Tugu Adipura

Tetapi apa yang terjadi? seperti tidak memiliki sense of crisis anggota DPR tetap membuat undang-undang. Dampaknya partisipasi masyarakat dalam pembuatan undang-undang rendah, kerumun demonstrasi yang mengancam penyebaran wabah semakin tinggi.

Tetap membuat undang-undang di tengah wabah ini membuat kecurigaan masyarakat terutama kalangan buruh, akademisi. Pasalnya meski di tengah pandemi COVID-19, proses pembahasannya dilakukan dalam waktu relatif singkat dibandingkan UU lainnya. Seperti diketahui aturan ini baru mulai dibahas pada awal April 2020 lalu. 

Seolah-olah aji mumpung UU dibahas ditengah wabah, bisa jadi ini strategi mereka agar UU ini lolos tanpa hambatan, masyarakat tentunya akan lengah dan tidak terlalu banyak demonstrasi karena takut wabah. Namun di luar prediksi buruh dan mahasiswa tetap turun ke jalan memperjuangkan aspirasi untuk menolak UU cipta kerja.

Begitu kerasnya penolakan UU cipta kerja oleh buruh dan mahasiswa merupakan sebuah pertanda terjadinya komunikasi yang buruk dalam perumusan UU cipta kerja. 

Buruh sebagai objek yang akan menjalankan UU merasa tidak dilibatkan padahal dalam pembentukan undang-undang ada prosedur uji publik dan naskah akademik.

 Inilah sumber kekisruhan yang terjadi, padahal jika prosedur itu semua di jalankan Jokowi tidak bersusah payah mengklarifikasi UU Cipta kerja. Atau tidak ada narasi lagi yang demonstrasi belum baca naskah UU cipta kerja. 

Klarifikasi Presiden dan narasi tuduhan para demonstran tidak baca naskah adalah bukti pemerintah dan DPR tidak melibatkan rakyat dalam pembentukan perundang-undangan.

Dalam membentuk perundang-undangan memang akan banyak kepentingan disana, Pengusaha, pemerintah dan buruh (rakyat). Namun sebagai wakil rakyat maka etisnya suara rakyat terlebih dahulu yang di dengarkan bukan suara penguasaha atau suara pemerintah.

Dalam demokrasi rakyatlah yang berdaulat, kepentingan rakyatlah yang harus di utamakan. Namun kondisi partai politik yang sedang sakit di serang oleh penyakit kartal politik maka suara rakyat tidak begitu penting lagi. 

Baca Juga..!  Brimob Polda Banten Laksanakan Kegiatan Penyuluhan Narkoba dan Tes Urin

Sejak pemilu secara langsung  tahun 2004 setidaknya ada dua dampak yang sangat besar yang mempengaruhi perilaku partai dan anggota DPR. Yang pertama persoalan mahalnya ongkos politik pemilu langsung telah membuat para kontestan pemilu bersekongkol dengan pengusaha. Para kontestan pemilu di berikan modal sehingga saat berkuasa kepentingan pengusahalah yang diutamakan dan kepentingan rakyat dipinggirkan. 

Politik tidak lagi mengusahakan tujuan mulianya menegakkan keadilan, kesejahteraan dan kebijaksanaan. Politik berubah menjadi bisnis yang mementingkan individu dan golongan tidak lagi berbicara kepentingan rakyat banyak.

Kedua, pemilu langsung telah membuat menguatnya sistem presidensil. Itu artinya seorang presiden harus mendapatkan sokongan dan dukungan mayoritas di parlemen. Jika presiden tidak memiliki dukungan mayoritas di parlemen maka kebijakan dan program pemerintah akan tidak berjalan dengan baik selalu mendapatkan gangguan dan hambatan dari parlemen. 

Maka disinilah terjadi transaksional antara eksekutif dan legislatif. Untuk mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen maka dibuatlah koalisi gemuk dimana partai politik yang kalah atau yang menjadi lawannya di pemilu ditawari masuk dalam kabinet.

Itu artinya parleman tidak dapat menjalankan fungsi pengawasan kepada eksekutif, oposisi menjadi mati. Penguasa merasa tidak ada gangguan dan berpotensi tumbuh lahirnya rezim yang otoriter yang tidak lagi mendengarkan suara rakyat.

Kesadaran para elit politik, akademisi akan fungsi DPR  yang sudah tidak sejalan dengan cita-citanya mesti menjadi pembahasan utama. Mesti ada sebuah reformasi kembali untuk memperbaiki demokrasi kita.

Jika pada tahun 1998 mengahasilkan perubahan arah demokrasi yang prosedural saja dengan pemilu langsung, pembatasan masa jabatan presiden, terbentuknya MK, KPK, KY dan diberlakukannya otonomi daerah. 

Maka saat ini kita membutuhkan perubahan kearah demokrasi substantif dimana demokrasi dikembalikan pada cita-cita nya untuk menegakkan kedaulatan rakyat, keadilan dan kesejahteraan.

Baca Juga..!  Ramadhan Berbagi, Polres Kota Bandara Soetta Gelar Bakti Sosial dan Bakti Kesehatan serta pelayanan SIM keliling

(WA-ZK’75)

Facebook Comments